Cipageran ( Seputar Cimahi ),Sebuah anugerah yang
sangat tek ternilai harganya warga RW 10 Kel
Cipageran dapat bertatap muka dengan seorang tokoh pemuka agama yaitu Ustadz Tate
Qomarudin,LC ,warga masyarakat biasanya hanya melihat di media televisi atau
media cetak kini bisa bertemu secara langsung dengan beliau . Selain anggota DPRD Jawa
Barat beliau menjabat pula sebagai Ketua Pembina Ormas BODAS PEKA.
Dalam acara
silaturrahim Ormas BODA SPEKA dengan warga Pondok Cibaligo RW 10 Kelurahan
Cipageran sabtu (03/08/2013),sore. Beliau memberikan taushiah , Seandainya
tidak ada lima perkara, seluruh manusia tentu menjadi orang-orang shalih.
Setiap Muslim tentu mendambakan
dirinya menjadi orang shalih. Namun, bagi sebagian orang, menjadi orang shalih
kadang hanya sebatas keinginan, tidak benar-benar diwujudkan dalam kehidupannya
. Kadang, keinginan menjadi orang shalih itu malah kontraproduktif dengan
praktik-praktik yang dilakukan. Betapa banyak Muslim yang malah mendatangkan
halangan-halangan bagi dirinya untuk menjadi orang yang shalih.
Berkaitan dengan ini,
Imam Ali pernah berkata, ”Seandainya
tidak ada lima perkara, seluruh manusia tentu menjadi orang-orang shalih.”
1 Merasa puas dengan
kebodohan.
2.Terlalu fokus
terhadap dunia.
3.Bakhil terhadap
harta.
4.Riya dalam beramal.
Kelima:
5.Membanggakan diri
sendiri.
Beliau mengutip dari (Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nasha’ih
al-’Ibad, hlm. 32).
Inilah lima perkara
yang oleh Imam Ali dianggap sebagai ’penghalang’ seseorang untuk menjadi orang
shalih:
Pertama (merasa puas dengan kebodohan), jelas
sikap ini tercela dalam Islam yang nyata-nyata telah mewajibkan setiap Muslim
untuk menuntut ilmu. Rasulullah SAW bersabda, ”Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim.” (HR Muslim).
Rasul SAW juga
bersabda, ”Allah SWT murka terhadap orang
yang memiliki ilmu tentang dunia tetapi tidak memiliki ilmu tentang akhirat
(agama).” (HR Al-Hakim).
Juga sabdanya, ”Dosa orang yang berilmu itu satu, sementara
dosa orang bodoh itu dua.” (HR ad-Dailami). Maksudnya, orang yang berilmu
tetapi tidak mengamalkan ilmunya mendapatkan satu dosa. Dengan kata lain, dia
gugur dari dosa menuntut ilmu, tetapi tetap berdosa karena tidak mengamalkan
ilmunya. Adapun orang yang bodoh mendapatkan dua dosa: dosa karena tidak
menuntut ilmu sehingga menjadikan dirinya bodoh dan dosa karena dia tidak
beramal. Sebab, bagaimana dia bisa beramal, atau apa yang mau diamalkan,
sementara dia tidak berilmu?
Kedua (terlalu fokus terhadap dunia), sikap
ini pun buruk dalam pandangan Islam. Sebab, Allah SWT telah berfirman (yang
artinya): Carilah pada apa yang telah
Allah anugerahkan kepada kalian (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kalian
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS al-Qashash [28]: 77).
Dalam ayat ini bahkan
kebahagiaan akhirat lebih didahulukan daripada kebahagian dunia meski manusia
didorong untuk bisa meraih kedua-duanya. Rasul juga bersabda, ”Sebaik-baik kampung dunia adalah bagi orang
yang menjadikannya sebagai bekal untuk akhiratnya hingga ia ridha kepada
Tuhannya.” Seburuk-buruk kampung
dunia adalah bagi orang yang terpalingkan olehnya sehingga berkurang keridhaan kepada Tuhannya.” (HR
al-Hakim).
Ketiga (bakhil terhadap harta), maka kita
tampaknya perlu menyadari kata-kata Imam Ja’far ash-Shadiq. Beliau pernah
menyatakan, seorang hamba mesti menyadari bahwa apa yang ada padanya bukan
miliknya, tetapi milik ’tuan’-nya, yakni Allah SWT. Segala hal yang ada padanya
adalah titipan dari-Nya. Jadi, tak selayaknya dia bakhil terhadap harta, yang
juga sesungguhnya merupakan titipan Allah yang kebetulan Dia titipkan
kepadanya.
Harta itu adalah
merupakan sebuah titipan , seseorang bisa saja menyembunyikan atau bahil dengan
hartanya tetapi Alloh mempunyai cara untuk mengeluarkan harta yang di
milikinya.
Keempat (riya dalam beramal), Rasullullah bersabda, ”Orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat adalah orang yang
berlaku riya di hadapan manusia bahwa ia telah berbuat baik, padahal tak ada
kebaikan sedikit pun di dalamnya.” (HR ad-Dailami).
Rasul pun bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan surga
atas orang-orang yang berbuat riya.” (HR Abu Nu’aim).
Kelima (membanggakan diri sendiri), kita pun sejatinya menyadari, bahwa tak layak
manusia membanggakan diri. Sebab, sejak awal manusia diciptakan dari ’air yang
hina’. Lebih dari itu, apa yang harus dibanggakan manusia jika semua yang ada
padanya, termasuk dirinya sekalipun, adalah milik Allah SWT, Pencipta manusia
dan seluruh jagad raya ini? Tentu sangat janggal dan aneh jika manusia
berbangga atas apa yang orang lain titipkan kepadanya.
Bukankah aneh jika kita
berbangga diri hanya karena dititipkan rumah (walau rumah mewah) oleh tetangga
samping rumah kita yang kebetulan sedang bepergian jauh? Bukankah aneh jika
kita harus takjub diri jika teman kita menitipkan mobilnya (meski mobil itu
super mahal) kepada kita saat kebetulan dia harus ke luar negeri? Karena itu,
tentu aneh pula jika kita berbangga diri, apalagi bersikap sombong, atas apa
saja yang telah Allah titipkan kepada kita (anak-istri, rumah, mobil,
apartemen, tanah/sawah yang luas, serta harta kekayaan lainnya yang melimpah
ruah). Sebab, bukankah semua itu hakikatnya milik Allah SWT, yang kebetulan Dia
titipkan kepada kita?